Kebo-Keboan Alasmalang BANYUWANGI


Di Kota Banyuwangi terdapat sebuah suku yang memiliki kesenian unik, yaitu Suku Using yang memiliki kesenian Kebo-Keboan. Meski zaman kian beralih, namun setiap tahun masyarakat Banyuwangi berupaya keras mempertahankan kemurnian dan kesakralan kebudayaan mereka tersebut.


Munculnya ritual kebo-keboan berawal terjadinya musibah pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit dan tanaman diserang hama. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Seorang sesepuh, bernama Mbah Karti mendapat wangsit dari semedinya di bukit untuk menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri.

Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.

Warga yang merayakan ritual ini sama seperti merayakan hari raya. Para sesepuhlah yang menentukan tanggal perayaan, berdasarkan penghitunan kalender Jawa Kuno.

Sebelum upacara adat ini dimulai, warga membuat gerbang  yang dihias hasil bumi daerah mereka. Gerbang inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian.

Tiap jalan kampung juga dihiasi berbagai tanaman,  sebagai simbol ungkapan syukur kepada penguasa alam. Selain itu mereka menyiapkan tumpeng dan juga menyediakan sesajen yang dimasak secara tradisional khas suku Using.

Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.

Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Lalu ada puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau. Sekujur tubuh mereka dilumuri arang. Mereka memakai rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam yang tergantung di leher layaknya kerbau. Ada pula para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ).

Sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Mereka juga sudah dimandikan dan sebenarnya tidak sadarkan diri karena kemasukkan makhluk gaib. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung diiringi gamelan dan angklum sambil berjalan bergerombol. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari serudukan kerbau. Penonton

Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah (benih padi) kepada petani. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri tersebut.

Kebo-keboan diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak, berkeliling di tengah sawah berlumpur yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut benih tersebut yang diyakini memberikan kesuburan. Sambil para penonton sibuk dan beramai-ramai mengambil bibit padi itu, para “kerbau” mengamuk dan terus menyeruduk.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar