Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak pernah lepas dari bulan suci
Ramadhan, karena memang Allah Swt menurunkannya pada bulan Ramadhan,
tepatnya pada malam istimewa ‘’Lailatul Qodar’’. Malam yang
penuh berkah itu disinyalir malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Nyaris, semua amalan ibadah yang dilakukan pada malam itu, nilainya
sangat besar (berlipat-lipat). Malaikat yang bertugas membawa wahyu
ialah Jibril as, dimana setiap bulan suci Ramadhan, Jibril selalu sibuk deres (tadarus al-Qur’an)
bersama-sama Nabi Saw. Kegiatan tadarusan bersama itu baru berhenti,
ketika Nabi Saw i’tikaf terahir di Masjid Nabawi, dimana waktu itu
termasuk i’tikaf terahir, yang kemudian Nabi Saw wafat setelah Musim
haji selesai. Nabi Saw pernah menyampaiakn kepada putrinya:’’ bulan Ramadhan ini Jibril tidak lagi datang’’. Ini isarat, bahwa tahun depan sudah tidak lagi ketemu dengan Ramadhan.
Dalam istilah ilmu al-Qur’an, orang yang membaca al-Qur’an disebut
dengan ‘’Qori’’. Sedangkan orang yang memiliki kemampuan membaca
al-Qur’an dengan baik, sesuai dengan ilmu tajwid, serta memahami
beranekaragam jenis bacaan al-Qur’an disebut dengan ‘’Qurro’’. Biasanya,
para qurro itu sekaligus menjadi ‘’al-Hafid’’ yang artinya telah
menghafalkan 30 juzz. Wajar, jika banyak ditemukan banyak mufassir yang
namanya diawali dengan ‘’al-Hafid Ibn Katsir’’. Tentunya,
seorang ulama’ yang memiliki gelar al-Hafid bukan hanya sekedar mampu
membaca al-Qur’an, tetapi mampu memahami kandunganya serta mampu
menganalisis ayat-ayat Allah swt dengan kemampuan yang dimilikinya.
Al-Qur’an artinya adalah bacaan (kitab suci), sedangkan orang yang membacanya disebut dengan ‘’al-qori’’ yang artinya pembaca. Sedangkan al-Qira’aat
adalah jamak dari kata qiro’ah yang berasal dari qara’a – yaqra’u –
qirâ’atan. Menurut istilah ilmu al-Qur’an al-Qira’at ialah salah satu
aliran dalam pelafalan/pengucapan Al-Qur’an yang dipakai oleh salah
seorang imam qura’ yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan
Al-Qur’anul Karim. Qira’at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada
Rasulullah Saw. Biasanya orang-orang yang memiliki kemampuan dalam
bidang al-Qur’an, tidak sempurna kecuali telah menguasai tujuh model
gaya bacaan yang lebih populer dengan istilah ‘’qiroah sab’ah’’.
Jika ditinjau dari segi sejarah, orang yang pertamakali membaca
al-Qur’an dengan model Qiroah Sab’ah, adalah para sahabat. Mereka
mendapatkan pelajaran langsung dari gurunya ‘’Nabi Muhammad Saw’’,
bagaimana mempelajari cara pengucapan Al-Quran langsung dengan benar dan
fasih. Beberapa dari sahabat ‘secara resmi’ direkomendasikan oleh
Rasulullah Saw sebagai rujukan sahabat lainnya dalam pengucapan
Al-Quran. Memang, tidak semua sahabat Nabi Saw memiliki kecerdasan yang
sama. Masing-masing memiliki kelebihan, seperti; Abu Hurairah yang
memiliki kemampuan hafalan yang luar biasa, ada juga yang menonjol dalam
tafsir al-Qur’an seperti; Ibnu Abbas ra. Dan sebagian sahabat, lebih
lincah bermain pedang dan panah, sehingga lebih dominan dalam urusan
medan perang, seperti; Kholid Ibn Walid.
Terkait dengan sahabat yang memiliki kemampuan bacaan al-Qur’an yang
benar dan fasih, yang direkomendasikan, Rasulullah Saw menuturkan:’’ Ambillah (belajarlah) Al-Quran dari empat orang : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan Ubai bin Ka’b ”
(HR Bukhori). Selanjutnya, Nabi Saw juga bersabda;’’ Barang siapa yang
ingin membaca Al-Quran dengan benar, sebagaimana ia diturunkan, maka
hendaklah membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas’ud).
Pernyataan Nabi Saw. ini mengisaratkan bahwa tidak semua sahabat Nabi
Saw. mampu membaca al-Qur’an dengan benar, sebagaimana lisan Nabi Saw.
Oleh karena itu, beliau Saw memberikan rekomendasi kepada beberapa
sahabatnya, agar supaya memberikan pelajaran cara mambaca al-Qur’an yang
benar sesuai dengan aslinya.
Diantara sahabat yang sangat populer dengan bacaannya adalah: Utsman
bin Affan (menantu), Ali bin Abi Tholib (menantu Nabi Saw), Ubay bin
Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ary.
Mereka termasuk sahabat Nabi Saw yang benar-benar memahami al-Qur’an
dengan baik. Kemampuan mereka kemudian ditularkan kepada sahabat-sahabat
lainya, yang kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Jazirah
Arabiyah. Sebagian besar sahabat, tabiin, belajara secara menyambung
dari sahabat Nabi di atas. Daerah-daerah yang menjadi basis qurra’
antara lain:
1- Madinah, di antara Qurro’nya ialah:’’Ibnu Musayyib, Urwah, Salim, dan Umar bin Abdul Aziz.
2- Makkah : Ubaid bin Umair, Atho’ bin Abi Robah, Thowus, Mujahid, Ikrimah
3- Kufah : Ilqimah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, dll
4- Bashroh : Abu Aliyah, Abu Roja’, Qotadah, Ibnu siirin
5- Syam : Al-mughiroh, Shohib utsman.
Di antara nama-nama di atas, sebagian besar memang menguasai
al-Qur’an dengan baik. Namun, di antara mereka, ada yang lebih menonjol
ke-ilmuanya. Abu Aswad al-Duaali, misalnya, beliau lebih menonjol
linguisticnya, tetapi kemahiran tafsir, hadis, fikih, tidak diragukan
lagi. Bisa dipastikan, para ulama yang mahir menguasi al-Qur’an dengan
baik, ternyata lebih mudah menerima ilmu pengetahuan lainnya, seperti
bahasa, fikih, tafsir, filsafat, medis (kedokteran) serta cabang-cabang
ilmu lainnya. Memahami al-Qur’an seolah-olah menjadi kunci permbuka
segala ilmu.
Kemudian pada masa tabi’in awal abad 1 Hijriyah, beberapa kelompok
mulai sungguh-sungguh menata tata baca dan pengucapan al-Quran hingga
menjadi ilmu tersendiri sebagaimana ilmu-ilmu syariah lainnya. Kemudian
muncul pula madrasah-madrasah qiro’ah yang mempelajri ilmu tersebut,
yang akhirnya memunculkan keberadaan para qurro’, yang hingga hari ini
qiroat qur’an banyak disandarkan kepada mereka, khususnya imam qurro
yang tujuh.
Orang-orang yang memiliki kemapuan dibidang al-Qur’an ini, tidak
hanya sekedar hafal, tetapi mampu memhami isi dan kandunganya. Mereka
juga sangat teliti sekali, sehingga tidak mungkin ada seorang-pun mampu
membodohinya. Setiap orang yang membaca al-Qur’an, walaupun terdengar
baik dan bagus, kadang bagi mereka belum sesuai dengan apa yang
diturunkan Allah Swt melalui malaikat Jibril kepada Nabi Saw. Mereka
itulah yang disebut dengan penjaga al-Qur’an. Mereka juga disebut
imam-imam qira’at yang masyhur yang meyampaikan qira’at kepada generasi
berikutnya sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah Saw.
Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitab suci
Al-Qur’an. Usman Ibn Affan salah satu qurro’ yang hidup dimasa Nabi Saw,
pernah menyampaipan pesan Nabi Saw yang isinya:’’Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya“.
Ibnu Qoyyim pernah menyampaikan pesan panjang lebar terkait dengan
pahala membaca al-Qur’an. Sebagaimana pesan Nabi Saw, orang mukmin yang
membaca al-Qur’an ibarat buah utrujah (seperti: durian), baunya
enak, rasanya juga lezat. Sedangkan, orang mukmin yang tidak membaca
al-Qur’an, ibarat buah kurma, yang tidak ada baunya tetapi rasanya
manis. Allah Swt juga tahu, bahwa sebagian dari hamba-Nya, tidak bisa
membaca, maka Nabi-pun juga menyampaikan bahwa mendengarkan al-Qur’an
dengan sungguh-sungguh juga akan mendapatkan pahala yang sama. Bahka,
hanya sekedar menjadi pendukung terhadap kegiatan membaca al-Qur’an juga
mendapat perhatian khusus dari-Nya.
Dalam sebuah tulisannya, Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa membaca al-Qur’an itu ada dua cara:
1- Berdasarkan Kuantitas : Pada umumnya, di Indonesia, sebagian besar umat islam membaca al-Qur’an setiap malam Ramadhan (tadarusan)
setelah melaksanakan sholat tarawih berjamaah di masjid atau Musolla.
Sebagaimana Nabi Saw yang juga melakukan tadarusan bersama Jibril setiap
bulan suci Ramadhan. Namun, bacaan al-Quran bi Nadhor (dengan
melihat Mushaf), masih banyak kelemahan, karena memang sebagian besar
belum menguasasi ilmu al-Qur’an (tajwid) dengan baik. Budaya ini harus
terus dilestarikan, tetapi tetap harus diperbaiki bersama, mengingat
budaya negative terus menerus mengerus generasi muda bangsa ini, sebab
tadarusan itu masih lebih baik dari pada kara-Oke-an, atau
kongko-kongko di kafe. Terkait dengan pahalanya, Nabi Saw pernah
menyampaikan bahwa setiap satu huruf dari al-Qur’an, Allah Swt akan
menganjarnya dengan sepuluh. Jadi, semakin banyak, akan semakin banyak
pula pahalanya.
2- Berdasarkan Kualitas: Orang yang berpendapat
demikian juga benar. Karena esensi membaca al-Qur’an pada bulan Ramadhan
bukan karena banyak atau cepatnya. Lebih dari itu, membaca al-Qur’an
itu akan bermanfaat, sejauh mana mampu memahaminya dengan baik, serta
mampu merenungi makna yang terkandung di dalamnya. Apalagi, saat ini
al-Qur’an sudah banyak terjemahan, bahkan sudah ada al-Qur’an digital,
yang secara otomastis keluar arti dan maknanya sendiri. Ini akan
memberikan kemudahan bagi para pemula yang sedang belajar al-Qur’an.
Terlepas dari kualitas dan kuantitas di atas. Akan lebih baik lagi
jika orang mukmin mau belajar membaca al-Qur’an dengan baik dan mampu
memaknai setiap ayat yang dibacanya. Semakin banyak akan semakin baik,
sebab ulama’salaf terdahulu sudah biasa menghatamkan al-Qur’an setiap
tiga hari sekali, seminggu sekali. Mereka tidak sekedar membaca, dalam
waktu yang cukup singkat, mereka mampu memaknai setiap baris dari ayat
al-Qur’an. Bahkan, ketika sedang berpapasan dijalan dengan
rekan-rekanya, mereka saling melontarkan pertanyaan” sudah berapa juz yang engkau baca hari ini”?
Bukan karena riya’ (pamer), tetapi karena sudah menjadi budaya waktu.
Inilah yang harus dibudayakan oleh orang islam di Indonesia, dan bulan
Ramadhan adalah waktu paling tepat memulainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar