BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang masalah
Banyuwangi
adalah salah satu kabupaten
yang terluas di Jawa Timur.di banyuwangi terdapat etnik yang bernama Suku
Osing,suku Osing juga biasa dengan sebutan “Lare Blambangan”. Pada awalnya
kepercayaan suku Osing adalah Hindu-Budha, namun karena perkembangan Islam di
Pantura menyebabkan Islam masuk dan menyebar dengan pesat pada masyarakat
Osing. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku Osing yang cukup besar
terutama dalam bidang adat istiadat.di kalangan Suku Osing terutama di Desa
Alasmalang, Dusun Krajan, Kecamatan Singojuruh ada sebuah upacara tradisional
yang sangat erat kaitannya dalam bidang pertanian yang biasa di sebut dengan
“upacara kebo-keboan”.
1.2.
Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah Kebo-keboan pada masyarakat Osing?
2.
Bagaimanakah rangkaian
upacara kebo-keboan pada masyarakat Osing?
3.
Bagaimanakah jalannya
upacara kebo-keboan pada masyarakat Osing?
1.3.
Tujuan
Berdasarkan
permasalahan
diatas maka tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami sejarah Kebo-keboan pada
masyarakat Osing.
2. Untuk
mengetahui rangkaian upacara Kebo-keboan pada
masyarakat Osing.
3. Untuk
mengetahui jalannya upacara Kebo-keboan pada
masyarakat Osing.
Manfaat
Setelah membaca upacara kebo-keboan pada masyarakat Dusun
Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi semua pihak terutama peminat sejarah baik dikalangan akademis dan
masyarakat umum.
BAB
3
PEMBAHASAN
3.1.Sejarah Kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh
Nama Alasmalang berasal dari kata
alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang berarti hutan yang melintang di
atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam keluarga Mbah Karti dan
keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal dengan nama
watukloso.
Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Hingga kini, sebagian besar warga
Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti.
Ritual kebo-keboan digelar
setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini
diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di
Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual
kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk. Kala itu,
seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga
kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu,
sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama
meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh
menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya
sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika
warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang
menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan.
Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
3.2.Upacara
Kebo – keboan di
Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan
Singojuruh
Di kalangan masyarakan Osing khususnya Dusun
Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ada sebuah upacara tradisional
yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk meminta kesuburan
tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang akan menimpa
tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.
3.3.Jalannya Upacara Kebo
– keboan di
Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh
·
persiapan
upacara
Upacara kebo-kebon di Dusun
Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu
antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari
minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari
tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti
jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa
Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Sebagaimana
upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap.
Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut:
1. tahap
selamatan di Petaunan.
2. tahap
ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan
3. tahap
ritual kebo-keboan
yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin
dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang
dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala Dusun
Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan
ritual ider bumi
dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap
sebagai orang yang ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur.
Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
·
Pelaku Upacara adat:
1. Pemimpin
Upacara (Pawang) yang merupakan pelaksana adat yang merupakan keturunan dari
Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang juga dijadikan pemimpin
upacara saat prosesi pembacaan doa.
2. Penjelmaan
Dewi Sri, merupakan simbolis dari kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan
Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus memiliki syarat-syarat
tertentu. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan upacara
tersebut tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah
Buyut Karti, Perawan / Gadis, Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.
3. Dayang
Pengiring Dewi Sri, Merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki
criteria seperti Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang
digunakan untuk pelaksanaan pawai ider bumi.
4. Kebo-keboan,
merupakan pelaksana setiap tahapan dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki
criteria Berbadan besar, sehat, kuat dan masih keturunan Mbaj Buyut Karti.
Kebo-keboan ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu pasang berjumlah
tiga yaitu dua kerbau dan satu pengendali.
5. Para
Petani, terlibat saat melaksanakan ider Bumi
6. Buldrah,
merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan kirab ider bumi. Yang di
pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan biasanya merupakan
penggerak warga dibidang pertanian.
7. Modin
Banyu, merupakan seorang yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim
pengairan.
·
Peralatan Upacara adat:
1. Peralatan
Pertanian, peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang
tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah:
singkal, teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek
2. Songsong,
merupakan paying besar yang digunakan untuk memayungi dewi sri, agar tidak
tersengat terik matahari.
3. Sesaji,
merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka
upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras,
tumpeng agung, jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih, Bubur Kuning, Bubur
Hitam, Bubur hijau / biru, peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras
petung tawar.
4. Tandu
(tempat duduk Dewi Sri), Tandu ini digunakan untuk tempat duduk dewi sri saat
prosesi adat.
Satu minggu
menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun
Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah
dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu
bersama-sama mempersiapkan sesajen yang
terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang,inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan
pula berbagai perlengkapan upacara seperti para
bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras,
pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan
ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam
harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti
pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala
gumantung, pala
kependhem, pala
kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam
kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula
bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang
ditanam.
Ritual Kebo-Keboan ini diawali
dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal
dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan
bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus
rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam
tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para petani yang membawa
hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi ( prosesi mengelilingi
kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ). Namun sebelumnya, pawang kerbau
memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada
sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya
kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga
merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan
diberi ritual khusus ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber
air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan
tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan
kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja
dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah
mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya.
Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang
tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh
"kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan
angklung.
Iring-iringan berjalan
pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji
simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di
belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut
berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan
cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua
membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.
Selain iring-iringan
kerbau dan kereta Dewi Sri, acara ritual ini juga melibatkan seluruh
elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak
sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian
adat suku Using yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong,
janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang
kulit,ada juga reog Ponorogo. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan
terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi
kualitas dan spiritual bersama.
Perjalanan arak-arakan
berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan
memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih
padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini.
Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan
tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.
Kebo-keboan diakhiri
dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah
sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah
yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji
yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.
Setelah berebut benih,
warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur.
Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Uniknya, saat penonton
mengambil bibit padi itu, para "kerbau" mengamuk dan terus menyeruduk.
Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat
benih dan ikut berkubang dalam lumpur.
·
nilai budaya
Upacara kebo-keboan di Dusun
Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika
dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara
lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai
kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam
suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini
adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya. Oleh
karena itu, upacara ini mengandung banyak nilai, yakni:
·
nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan
sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
·
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara
itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum
upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak
hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan
peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga
upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
·
Nilai kegotong-royongan tercermin dari
keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu
demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan
dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
·
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang
ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan
kesejahteraan dalam menjalani
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar